Radikal dan Reaksinya


RADIKAL DAN REAKSINYA

A. Pendahuluan

Reaksi-reaksi yang dipelajari sejauh ini umumnya adalah fisi heterolitik. Reaksi ini melibatkan pereaksi dan zat antara polar, berupa karbokation dan karbanion:


Dalam fase gas, fisi homolitik juga dapat terjadi menghasilkan radikal, yaitu spesies yang memiliki elektron tak-berpasangan:

Fisi homolitik dalam fase gas (misalnya, pembakaran senyawa organik) selalu membutuhkan energi yang lebih kecil daripada fisi heterolitik, tetapi solvasi ion dalam pelarut polar akan membalik kecenderungan ini.

Reaksi radikal juga dapat berlangsung dalam larutan jika 1) dilakukan dalam pelarut nonpolar, 2) dikatalisis oleh cahaya, atau 3) secara bersamaan, terjadi penguraian inisiator, misalnya peroksida organik, yaitu spesies yang akan menghasilkan radikal.

Reaksi radikal umumnya tidak selektif dan begitu mulai terjadi, akan berjalan sangat cepat karena berlangsung reaksi-rantai:

Untuk menghentikan reaksi radikal, lazim ditambahkan inhibitor (penghambat reaksi) atau penggait-radikal (radical scavenger) seperti fenol, kuinon, difenilamina, dan iodin, yang juga dapat berfungsi sebagaiterminator (penghenti reaksi).

Radikal yang pertama-tama dipelajari adalah radikal kurang-reaktif yang dapat bertahan cukup lama seperti radikal tritil, Ph3C·, Radikal ini ditemukan tahun 1900 dengan mereaksikan Ph3CCl dengan serbuk Ag. Radikal ini mudah bereaksi dengan halogen atau dengan oksigen dari udara:
Dalam pelarut lembam, radikal ini berkesetimbangan dengan bentuk dimer tak-berwarna. Pengenceran dan pemanasan akan meningkatkan proporsi radikal terhadap dimernya. Larutan 3% dimer dalam benzena mengandung sekitar 2% Ph3C· pada 20 oC dan naik menjadi sekitar 10% pada 80 oC. Tanpa pelarut, hanya ada bentuk dimer. Telah dibuktikan dengan NMR bahwa struktur dimer tersebut bukan heksafeniletana (yang tentunya sulit terbentuk karena halangan sterik), melainkan ialah

Radikal alkil sederhana yang jauh lebih reaktif baru mulai dikaji tahun 1939 dengan penguraian termal senyawaan organologam yang dialirkan melalui pipa kaca, misalnya


Cermin Pb tipis yang menempel di dinding dalam pipa akan diserang oleh aliran radikal. Dengan mengukur jangkauan serangan tersebut, digabungkan dengan mengetahui laju alir gas pembawa, waktu paruh dapat diperkirakan secara cermat; bagi Me, nilainya 8 x 10-3 detik. Radikal alkil yang demikian jika tanpa cermin logam yang diserang, sebagian besar akan mengalami dimerisasi:

Heteroradikal, yaitu radikal pada atom bukan karbon juga dikenal. Tahun 1911, pemanasan N,N,N’,N’-tetrafenilhidrazina dalam pelarut nonpolar menghasilkan radikal Ph3N· yang berwarna hijau:

Radikal nitrogen penting lainnya ialah 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) yang diperoleh dari oksidasi PbO2 terhadap trifenilhidrazina:


Radikal ini mudah direkristalisasi membentuk kristal prisma violet yang tidak bereaksi dengan molekul netral, tetapi segera bereaksi dengan radikal lain membentuk produk tak-berwarna:

Mengikuti perubahan serapan yang terjadi akibat reaksi ini lazim digunakan dalam uji aktivitas antioksidan.

Memanaskan larutan difenil sulfida akan menghasilkan radikal PhS· yang berwarna kuning dan menjadi tidak berwarna jika didinginkan:


Radikal fenoksi di bawah ini juga cukup stabil dan tidak membentuk dimer dalam larutan maupun padatan, agaknya karena hambatan oleh CMe3 pada kedua posisi o-nya.


B. Pembentukan Radikal

Terdapat 3 cara membentuk radikal dari molekul netral: 1) fotolisis, 2) termolisis, dan 3) reaksi redoks oleh ion anorganik, logam, atau elektrolisis yang melibatkan trasnfer 1 elektron.

B. 1. Fotolisis

Syaratnya, molekul dapat menyerap sinar ultraviolet atau tampak. Uap aseton, misalnya, dapat terurai oleh sinar 320 nm (3200 Ã… » 375 kJ mol-1) karena memiliki pita serapan di daerah itu:


Homolisis fotolitik juga dapat terjadi pada alkil hipoklorit (ROCl) dan alkil nitrit (RON=O) membentuk radikal alkoksil, atau pada molekul halogen membentuk radikal halogen yang sangat berguna untuk menginisiasi halogenasi alkana atau adisi alkena.


Dua kelebihan fotolisis dibandingkan dengan termolisis ialah a) memungkinkan pemutusan ikatan yang sulit atau tidak dapat diputus pada suhu yang lazim, misalnya azoalkana:


dan b) hanya memindahkan energi pada satu tingkat tertentu ke suatu molekul sehingga lebih spesifik. Oleh karena itu, pemutusan diasil peroksida dapat berlangsung bersih dengan fotolisis, tanpa reaksi samping sebagaimana yang terjadi dengan termolisis.


Teknik pembentukan radikal yang sangat menarik ialah fotolisis kilat (flash photolysis). Teknik ini menggunakan pulsa radiasi (ultraviolet atau tampak) yang sangat kuat dalam waktu sangat singkat. Radikal dalam jumlah sangat banyak akan terbentuk dengan segera, yang dapat dideteksi dan diikuti keberadaannya secara spektroskopi dari 1 atau lebih pulsa radiasi selanjutnya yang intensitasnya lebih lemah dengan panjang gelombang yang sesuai. Teknik ini tentunya lebih cocok untuk studi radikal ketimbang untuk prosedur preparatif. Radikal juga dapat dihasilkan, pada kasus tertentu, dengan menyinari molekul netral dengan sinar-X atau sinar-g: radiolisis.

B. 2. Termolisis

Kebanyakan studi radikal alkil berumur pendek di masa awal dilakukan dengan penguraian termal alkil logam dalam fase uap:

Hal ini disebabkan oleh mudahnya ikatan Pb–R diputus. Memang, radikal lazim dibentuk dalam pelarut lembam, seperti halnya dalam fase uap, melalui termolisis ikatan yang cukup lemah semacam itu (energi disosiasi < » 165 kJ [40 kkal] mol-1), seperti ikatan O-O pada peroksida atau C-N pada senyawa azo. Keadaan agak ekstrem terkadang diperlukan jika tidak ada substituen yang dapat menstabilkan radikal. (Me3CCOO)2 memiliki waktu paruh » 200 jam pada 100 oC, sedangkan (PhCOO)2 hanya » 0,5 jam pada suhu yang sama. Demikian pula senyawa azo sederhana terlalu stabil untuk mengalami termolisis pada suhu biasa, tetapi merupakan sumber radikal yang baik jika mengikat substituen yang sesuai:


(Waktu paruh Me2C(CN)N=NC(CN)Me2 hanya » 5 menit pada 100 oC, sedangkan MeN=NMe tetap stabil hingga » 200 oC)
Tanpa ada spesies lain yang dapat bereaksi dengan radikal (misalnya, pengambilan H dari pelarut), umur radikal umumnya ditentukan oleh dimerisasi:


selain juga oleh disproporsionasi:


Penggunaan PbEt4 sebagai bahan anti-ketuk didasarkan pada kemampuan radikal etil yang terbentuk pada penguraian termal, untuk bergabung dengan radikal-radikal yang terbentuk pada pembakaran hidrokarbon yang terlalu cepat, sehingga menghentikan letupan. Mekanisme kerjanya tidak diketahui dengan sempurna, tetapi terdapat bukti bahwa partikel halus PbO2 yang dihasilkan turut memutus rantai reaksi.

Dalam proses pengertakan (cracking) alkana rantai panjang pada » 600 oC,  radikal awal yang dimasukkan ke dalam sistem akan mengambil atom H dari gugus CH2 dalam rantai. Radikal rantai panjang, bukan-ujung yang dihasilkan kemudian mengalami pembelahan-b relatif terhadap posisi radikal, menghasilkan alkena dengan Mr rendah dan radikal lainnya:


Penghentian reaksi lewat reaksi antarradikal umumnya tidak terjadi kecuali jika jumlah alkana rantai panjang telah sangat berkurang.

B. 3. Reaksi Redoks

Reaksi ini melibatkan sistem ion-ion logam seperti Fe2+/Fe3+ dan Cu+/Cu2+ dalam transfer 1 elektron. Ion Cu+ didapati mempercepat penguraian asil peroksida:


tanpa risiko terurai lebih lanjut menjadi Ar· + CO2 sebagaimana yang mungkin terjadi pada termolisis. Ion Cu+ juga membantu pengubahan garam diazonium ArN2+Cl- menjadi ArCl + N2 (reaksi Sandmeyer) dengan Ar· kemungkinan besar terbentuk sesaat sebagai zat antaranya:


Kedua reaksi di atas merupakan reduksi. Ion Fe2+ digunakan untuk mengatalisis oksidasi larutan H2O2 berair:

Campuran ini disebut pereaksi Fenton, dengan HO· berperan sebagai oksidator, yaitu sebagai pengambil H maupun pembentuk radikal:


Reduksi langsung karbokation tidak lazim, tetapi telah teramati misalnya, dengan vanadium(II) klorida:

Pembentukan radikal melalui proses oksidatif terjadi pada inisiasi autoksidasi benzaldehida, yang dikatalisis oleh sejumlah ion logam berat yang mampu melakukan transfer 1-elektron seperti Fe3+:

Telah dibahas sebelumnya bahwa radikal fenoksi yang stabil dapat dihasilkan lewat oksidasi 1-elektron oleh Fe(CN)63-:

Demikian pula oksidasi karbanion dengan iodin membentuk dimer:


Radikal yang kemudian berdimerisasi juga diperoleh melalui oksidasi anodik anion karboksilat, RCO2-, pada sintesis hidrokarbon cara elektrolitik Kolbe:


Sebaliknya, elektrolisis keton menimbulkan reduksi katodik menjadi anion radikal yang mengalami dimerisasi menjadi dianion pinakol:


Anion radikal juga dihasilkan dari keton dalam reduksi pinakol oleh Na atau Mg, dari ester oleh natrium dalam kondensasi asiloin.

Semua metode pembentukan radikal di atas melibatkan pembentukan radikal ab initio dari molekul netral atau ion. Radikal juga banyak dihasilkan dari serangan pada spesies tertentu oleh radikal yang terbentuk sebelumnya (dari prekursor seperti peroksida atau azoalkana):


C. Deteksi Radikal

1)  Radikal berumur pendek dideteksi dari kemampuan menggores cermin logam (subbab A).

2)  Energi eksitasi elekron radikal lebih kecil daripada elektron berpasangan, maka menyerap sinar pada panjang gelombang lebih besar. Oleh karena itu, sejumlah radikal berwarna, sedangkan bahan awalnya tidak (bandingkan dengan radikal DPPH).

3)  Inisiasi polimerisasi. Dengan substrat stirena (PhCH=CH2) dan metil metakrilat (CH2=C(Me)CO2Me) 50:50, inisiator kation hanya menghasilkan polistirena, inisiator anion menghasilkan poli(metil metakrilat) saja, sedangkan inisiator radikal dapat menghasilkan kopolimer yang mengandung kedua monomer dalam jumlah sama banyak.

4)  Cara deteksi terbaik ialah dengan spektroskopi resonans spin elektron/talunan uri elektron (ESR, electron spin resonance) yang memanfaatkan momen magnet permanen yang dimiliki oleh radikal akibat spin elektron tak-berpasangannya (radikal bersifat paramagnetik). Dalam pengaruh medan magnet, setiap spin (+½ dan –½) akan berbeda tingkat energinya dan transisi antartingkat energi menghasilkan spektrum yang khas. Proses ini analog dengan spektroskopi resonans magnet inti (NMR) untuk inti yang memiliki momen magnet permanen. Namun, kisaran energi kedua alat ini berbeda karena elektron tak-berpasangan memiliki momen magnet jauh lebih besar daripada proton sehingga energi lebih besar diperlukan untuk membalikkan spinnya.

Dalam spektroskopi ESR, interaksi (pembelahan) terjadi antara elektron tak-berpasangan dan inti magnet tetangga (terutama 1H) sehingga menghasilkan pola garis yang cukup rumit. Spektrum ESR radikal sikloheptatrienil didapati sangat sederhana, berupa 8 garis yang terpisah sama jauh. Pola ini menunjukkan adanya interaksi elektron tak-berpasangan dengan 7 inti 1H yang ekuivalen sebagai akibat dari delokalisasi.

Spektroskopi ESR mampu mendeteksi radikal hingga konsentrasi hanya 10-8 M. Radikal yang akan dipelajari kadang-kadang terbentuk oleh penyinaran di dalam alat spektrometer sehingga konsentrasi yang terukur lebih besar. Teknik aliran kontinu digunakan untuk menjaga agar konsentrasi di dalam alat ‘tetap’, tetapi teknik ini membutuhkan volume yang besar serta jumlah bahan awal yang banyak. Semakin panjang umur radikal, semakin besar kesempatan mengamati spektrumnya, maka spesies seperti Ph3C· mudah diamati, sedangkan spesies seperti Ph·, PhCH2·, dan C2H5· lebih sulit. Salah satu teknik ‘memperpanjang’ umur radikal ialah dengan memasukkan bahan diamagnetik yang sesuai, yang akan bereaksi dengan radikal tersebut dan mengubahnya menjadi radikal berumur lebih panjang yang mudah dideteksi:


Cara ini disebut penjebakan spin. Cara lain mengkaji radikal yang berumur sangat pendek ialah dengan membentuknya secara fotolitik dari prekursornya dalam suatu matriks padat, misalnya argon beku. Matriks ini akan melindungi radikal tersebut dari tumbukan satu sama lain atau dengan spesies lain yang dapat mengakhiri ‘hidup’nya.

Terlepas dari berbagai metode fisis khusus untuk mendeteksi radikal, petunjuk lebih umum keterlibatan zat antara radikal dalam reaksi diperlihatkan oleh kerentanannya pada penambahan inisiator atau inhibitor serta ketahanannya (dibandingkan dengan reaksi polar) pada penggantian pelarut.

D. Bentuk dan Stabilisasi Radikal

Apakah radikal R3C· planar atau piramida?


Bukti fisis dari spektrum ESR 13CH3 yang merupakan hasil interaksi elektron tak-berpasangan dengan inti 13C yang paramagnetik, menunjukkan sifat s yang sangat kecil, bahkan tidak ada, sehingga radikal tersebut diyakini planar. Sifat s dari orbital yang terisi separuh didapati meningkat dengan urutan

dan ·CF3 dapat dikatakan sp3 dan berbentuk piramida. Demikian pula ·CH2OH dan ·CMe2OH praktis ‘bengkok/menekuk’.

Perbandingan kemudahan pembentukan serta kereaktifan radikal berjembatan seperti


dengan ekuivalen asikliknya menyarankan bahwa radikal alkil memang memiliki kecenderungan untuk planar. Namun, kecenderungan ini tidaklah senyata pada karbokation: sedikit saja kesulitan untuk membentuk radikal pada karbon ujung-jembatan.

Stabilitas relatif radikal alkil:

Urutan ini sejalan dengan berkurangnya stabilitas karena hiperkonjugasi. Ketika R besar, urutan ini juga sejalan dengan menurunnya efek pelonggaran regangan sudut ketika prekursor berhibridisasi sp3 beralih ke bentuk radikal berhibridisasi sp2. Namun, sekali lagi, perbedaan stabilitas radikal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan karbokationnya.

Radikal alilik, RCH=CHCH2·, dan benzilik, PhCH·R lebih stabil karena delokalisasi elektron tak-berpasangan melintasi sistem orbital p. Keduanya praktis planar (sp2) supaya tumpang-tindih orbital p maksimum.
         

Radikal semakin stabil jika potensi delokalisasinya bertambah: Ph3C· > Ph2CH· > PhCH2·. Pada radikal Ph3C·, kestabilan maksimum baru diperoleh jika ketiga inti benzena serentak menyebidang (koplanar) sehingga orbital p pada atom karbon pusat (yang berhibridisasi sp2 dan karena itu, berbentuk segitiga datar) akan berinteraksi sama kuat dan maksimum dengan sistem orbital dari ketiga inti tersebut.


Pengukuran kristalografi sinar-X (XRD) dan spektroskopi menunjukkan bahwa radikal Ph3C· berbentuk baling-baling: cincin-cincin benzenanya saling menyudut sekitar 30o terhadap bidang bersama.

Jadi, meskipun terjadi delokalisasi (berdasarkan spektrum ESR), besarnya tidak maksimum dan tidak jauh lebih besar pada Ph3C· dibandingkan dengan pada Ph2CH·, atau bahkan pada PhCH2·. Alasan utama ‘stabilitas’ yang lebih besar dari Ph3C·, sebagaimana tecermin dari sulitnya radikal ini berdimerisasi, tentunya terutama sterik: terjadi kerumunan ketika dua radikal Ph3C· yang sangat meruah berupaya bergabung satu sama lain. Kerumunan yang tecermin dari fakta bahwa dimer, ketika terbentuk, bukanlah heksafeniletana, Ph3C-CPh3, tetapi berasal dari reaksi salah satu radikal Ph3C· pada tepi molekul yang jauh lebih mudah diakses (melalui delokalisasi elektron) dari radikal yang lain:


Cincin-cincin benzena dipaksa menyimpang dari konformasi menyebidang oleh interaksi sterik atom-atom H-orto pada cincin yang bersebelahan. Tentu saja, substituen yang lebih meruah daripada H di posisi-o akan memperbesar penyimpangan sudut ke-luar-bidang yang terjadi, mencapai 50o atau bahkan lebih. Delokalisasi tentu semakin berkurang, tetapi radikal justru menjadi lebih stabil, tecermin dari lebih sukar terbentuknya dimer dibandingkan dengan Ph3C·. Sekali lagi, efek sterik menjadi penyebabnya: substituen orto sangat dekat dengan atom karbon radikal sehingga menurunkan aksesibilitasnya. Keefektifan ‘melindungi’ atom karbon radikal ini akan bertambah jika cincin benzena menyimpang semakin jauh dari konformasi koplanar, yaitu semakin besar sudut dihedralnya.

Jika setiap inti aromatik dalam radikal memiliki substituen-p yang



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gravimetri dan Contoh Soal

PENENTUAN KADAR LEMAK METODE BABCOCK

Laporan Praktikum Kesetimbangan Kimia